Jan 30, 2010

IQ Bukan Segalanya

Pernahkah pembaca mengenal Bill Gates? Ia telah bisa membuat program komputer dalam usia tiga belas tahun.

Program komputer telah membuatnya terobsesi, sehingga ia merelakan kuliahnya di universitas bergengsi di Amerika. Kini sekitar 70-80 persen program komputer dunia berasal dari kantornya Bill Gates.

Steve Jobs, anak yang nakal pada waktu muda dan gemar elektronika. Ia meninggalkan kuliahnya dan berhasil dalam tiga industri yang berbeda yaitu musik, komputer dan film animasi.

Sergey Brin dan Larry Page juga merelakan program doktornya karena obsesinya untuk mengkomersialkan hasil riset mesin pencarinya.

Di Indonesia juga tak sedikit orang-orang hebat yang punya prestasi akademik biasa-biasa saja, bahkan ada yang tak tamat SD. Pernahkah pembaca tahu bahwa Andre Wongso sang motivator papan atas Indonesia bahkan beberapa negara Asia, ternyata putus sekolah hanya sampai kelas 5 SD saja? Ebit G Ade pun ternyata di sekolah bukan sosok yang memiliki prestasi akademik. Ini hanya sekadar contoh.

Sejatinya dunia ini berpihak kepada orang-orang yang berpengharapan dan pantang menyerah untuk menggapainya. Orang Arab bilang man jada wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapat atau berhasil).

Ya, keberhasilan ataupun prestasi tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki IQ (intelligence quotient) yang tinggi. Justru orang- orang besar dunia memiliki IQ yang biasa-biasa saja. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabnya sederhana saja: mereka memiliki motivasi yang jelas apa yang ingin dicapai. Karenanya Einsten mengemukakan, bakat hanya satu persen, selebihnya adalah kerja keras untuk memperoleh apa yang diingini atau dicita-citakan.

Pribadi dengan tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi belum tentu memiliki prestasi yang baik. Namun, bila kita memiliki motivasi yang tinggi, maka prestasi pun biasanya baik.

Pada dasarnya setiap pribadi (person), ingin berprestasi. Kita mau melakukan yang terbaik dalam rangka menumbuhkan kepercayaan diri dan pembentukan konsep diri yang positif.

Lihatlah kehidupan para balita (bawah lima tahun) yang suka sekali bertanya ‘Kenapa?’ ‘Ini apa?’ ‘ Untuk apa?’ ‘Punya siapa?’. Pertanyaan itu seringkali meluncur tak henti dari mulut si kecil. Dengan rasa ingin tahu begitu besar, yang dituangkan dalam pertanyaan, akhirnya balita pun mengetahui banyak hal. Tahu kalau api dapat membakar, pisau dapat melukai, dan lain sebagainya.

IQ Tinggi Bukan Segalanya

Tersebutlah si A dan si B yang sama-sama siswa SMA. Si A memiliki IQ 150, sementara si B hanya 110 saja. Tetapi prestasi belajar si B jauh lebih baik ketimbang si A. Kenapa ini bisa terjadi? Si A karena merasa jenius, belajar ogah-ogahan, sementara si B karena merasa IQ-nya hanya rata-rata saja, ia belajar lebih keras dan tekun. Hasilnya cukup gemilang buat si B.

Karena si B belajar lebih tekun, ia pun disukai guru. Karena guru suka padanya, si B pun suka pada guru. Si B juga menyukai orangtua, dan anggota keluarganya, begitu juga sebaliknya, orangtua dan keluarganya menyukai si B karena bangga terhadap pribadi si B.

Kenapa tidak semua dari kita seperti si B. Malah ada yang belajar dengan rasa enggan atau seperti terpaksa dalam mengerjakan tugas sekolah sampai mogok masuk sekolah?

Jawabnya sederhana saja, kita kehilangan motivasi. Motivasi adalah faktor pendukung yang dapat mengoptimalkan kecerdasan dan membawa kita meraih prestasi.

Orang-orang yang memiliki motivasi, umumnya akan memiliki prestasi yang baik. Sebaliknya, rendahnya motivasi akan membuat prestasi menurun. Sebab, motivasi merupakan perubahan tenaga di dalam diri seseorang yang ditandai dengan adanya dorongan afektif dan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.

Motivasi akan mendorong siapa saja berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan. Dengan motivasi, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh tanpa dipaksa.

Tidak Mampu

Saya punya teman yang berasal dari keluarga tidak mampu secara finansial. Ia sekolah sembari berjualan serabutan. Setelah SMA, ia membuka usaha kelontong yang dimulai dengan modal – ketika itu sekitar tahun 80-an – Rp 40 ribu saja. Belakangan usaha kelontongnya telah berubah menjadi toko dan beberapa unit usaha lainnya. Ia pun telah pula berhasil menyandang predikat sarjana ekonomi.

Apa yang memotivasi teman tersebut untuk maju? Ia melihat keluarga dan orang-orang sekelilingnya yang tidak berpendidikan (formal maupun informal) akan sangat sulit untuk memperbaiki nasib. Maka di dalam benaknya tertanam semangat belajar… belajar dan belajar. Konsep belajar seumur hidup (long life education) tertanam dalam benaknya.

Kemampuan untuk memiliki persepsi (pandangan) yang utuh tentang motivasi belajar memang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan; sikap dan cara mengajar guru, pola didik orangtua dan sikap teman-teman.

Tapi, pribadi kuat seperti teman saya tadi – yang berasal dari pemukiman slum (kumuh) – justru dapat membuat kehidupan yang serba kurang itu jadi tantangan untuk berprestasi. Ia dapat mengalahkan teman-temannya yang anak anggota dewan, anak seorang kolonel. Sementara, ia hanya anak seorang penambal ban sepeda ketika itu.

Justru itu, penanaman motivasi harus dilakukan sejak sekarang agar lebih ajeg dan menetap dalam diri. Karena itu, sebaiknya pula kita tidak hanya menekankan motivasi untuk meraih prestasi dalam bidang akademik semata. Janganlah kita melihat kecerdasan dari ranking saja. Tapi, lihatlah pula bagaimana cara bersosialisasi, berkreativitas, gerak tubuh, dan lain-lain.

Tidak Punya Prestasi Akademik

Saya juga punya seorang teman yang sekarang menjadi rektor sebuah universitas swasta. Semasa SD, dapat dikatakan teman tersebut tidak punya prestasi akademik yang menonjol, tetapi dia punya semangat ingin tampil dan percaya diri yang besar.

Saat guru bertanya, "siapa yang mau bernyanyi?" Teman tersebut mengangkat tangan. Lalu tampillah dia ke depan kelas dengan suara yang pas-pasan dan lirik lagu yang bersalahan. Tetapi selepas lagu pertama, ia bertanya, "apa boleh tambuh Bu?" Ibu guru sembari senyum-senyum, mengiyakan. Kami pun tertawa di dalam hati melihat sikapnya yang sok tampil dan percaya diri itu.

Adik-adik, ternyata sikapnya yang berani tampil, bertanya, dan belakangan belajar sungguh-sungguh karena merasa bodoh itulah yang mengantarkannya jadi orang berhasil. Inilah yang disebut kecerdasan emosional (emotional quotient) yang dipadu dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).

Pernahkah kita bertanya seorang jenius musik seperti Mozart jika dites IQ, berapa hasilnya? Sebaliknya, bisakah seorang Einstein menciptakan lagu seperti Mozart atau melukis seperti Leonardo Da Vinci?

Tidak Hanya Satu

Menurut Gardner, kecerdasan pada hakikatnya tidak hanya satu macam, melainkan sedikitnya ada 8 macam: kecerdasan bahasa, kecerdasan ilmu pasti, kecerdasan ilmu alam, kecerdasan gerak seperti pada penari dan olahragawan, kecerdasan musik, kecerdasan untuk menganalisis diri sendiri, kecerdasan antarpribadi sehingga membuat kita mudah bergaul dan kecerdasan ruang, misalnya pelukis, disainer, arsitek.

Memang, teori Gardner ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, khususnya tentang metode pengukuran dari masing-masing jenis kecerdasan itu (yang dalam bidang IQ sudah sangat canggih) dan apakah jenis-jenis kecerdasan itu berhenti pada 8 atau 11 jenis saja, atau masih bisa bertambah lagi? Karena itu, tentu saja tidak adil jika hanya menilai atau mengukur prestasi dari aspek akademis semata.


0 comments: